Selasa, 25 Maret 2014

Kasih Ibu Sepanjang Masa


Om Siwa Buddhaya Namah,

Sahabatku yang terkasih, dalam suatu perjalanan,  ketika Sang Buddha Gautama bersama para siswanya melintasi sebuah kuburan, disana terlihat banyak tulang belulang berserakan. Kemudian Sang Buddha Gautama berhenti sejenak disana, sambil memperhatikan tulang belulang tersebut dan hal ini diikuti oleh para siswanya.
Terdapat perbedaan yang menjolok diantara tulang belulang tersebut, terutama mengenai warnanya, yaitu ada tulang belulang yang berwarna putih dan ada tulang belulang yang berwarna hitam. Kemudian para siswa bertanya kepada Sang Buddha,” Guru, kenapa ada tulang belulang yang berwarna hitam dan ada yang berwarna putih “. Kemudian Sang Buddha menjawab,” Ketahuilah wahai para siswaku, tulang belulang yang berwarna putih adalah tulang belulang dari jasadnya laki-laki, sedangkan tulang belulang yang berwarna hitam adalah tulang belulang dari jasadnya  ibu “.
Kemudian Sang Buddha melanjutkan wejangannya,” Seorang Ibu memiliki tugas yang sangat berat, yaitu mengandung janin selama Sembilan bulan, kemudian melahirkan bayi dan selanjutnya, menyusuinya. Hal itu menyebabkan dia banyak kehilangan darah dan kondisinya menjadi semakin lemah dan karena inilah tulang belulangnya tampak lebih pucat dan hitam “.
Sahabatku yang terkasih, demikian berat tugas seorang Ibu didunia ini, demikian besar pengorbanannya, dia mempertaruhkan nyawanya untuk melahirkan seorang anak kedunia ini, kemudian merawat serta mendidiknya hingga menjadi dewasa dan mandiri, tugas ini sebagian besar dilakukan oleh Ibu. Tiada kata berhenti dan tiada kata lelah untuk seorang Ibu, beliau terus berjuang sepanjang masa, demi kebahagiaan anak-anaknya. Ketika terdengar tangisan sang bayi munggil kesayangannya, rasa kantuk ditahannya, lapar dahaga tak dihiraukannya demi merawat sang anak. Ketika sang anak sakit, hatinya menjadi resah dan gelisah, gelap malam, hujan disertai halilintar serta panas terik mentari semuanya tak dihiraukannya demi mendapatkan obat untuk kesembuhan anaknya. Banyak lagi pengorbanan Ibu yang tak dapat kita gambarkan semuanya, tak terhingga kasih Ibu kepada anak-anaknya.
Demikian besar kasih Ibu kepada kita, demikian mulia hati Ibu, oleh karena itu sangatlah pantas kita menempatkan sorga berada ditelapak kaki Ibu. Oleh karena itu, rawatlah Ibu dengan penuh kasih sayang, basuhlah kaki Ibu dengan penuh rasa bakti, kemudian siramilah sekujur tubuh ini dengan air cucian kaki Ibu, setelah itu mohonlah ampunan kepadanya serta restu agar kita dapat menjalani kehidupan ini menuju jalan mulia yang direstui oleh Illahi, semoga Kasih Ibu merestui perjalanan hidup kita sepanjang masa, semoga senantiasa kita menuju kebahagiaan lahir bathin, semoga semua mahluk hidup berbahagia, Om Shanti Shanti Shanti Om. 


Kamis, 20 Maret 2014

Silau


Om Siwa Buddhaya Namah,

Sahabatku yang terkasih, hari yang begitu cerah, matahari bersinar dengan cemerlang, hal ini membuat kita lebih bersemangat didalam menjalani aktifitas. Anugerah ini patut kita syukuri, namun hendaknya kita tidak kehilangan kewaspadaan, karena apabila kita sedang berkendaraan dijalan dan sinar mentari tepat berada pada jarak pandang kita, ini akan sangat menyilaukan dan membahayakan. Janganlah lupa mengenakan kacamata gelap agar bisa memfilter cahaya yang masuk sehingga mata kita menjadi sejuk, kita tidak silau dan jarak pandang tidak terganggu.
Sahabatku, demikian juga halnya anugerah Tuhan yang lainnya seperti harta, kekuasaan serta anugerah lainnya, ini akan berubah menjadi bencana apabila kita tidak waspada dan menjadi silau. Kita akan kehilangan kendali dan arah didalam menjalani kehidupan ini. Hendaknya kita mewaspadai nafsu keinginan yang berlebihan, yang tidak pernah puas dengan memfilter diri dengan keikhlasan hati. 
Dengan demikian hati kita menjadi sejuk, pikiran kita akan menjadi damai dan kita akan menjadi lebih sejahtera karena telah mensyukuri anugerah Tuhan dan mempergunakan kesempatan ini untuk menambah kebajikan dengan lebih banyak membantu sesama meringankan penderitaan orang lain.
Demikianlah sahabatku, semoga kita tidak silau harta, silau tahta, semoga Tuhan memberkati jalan hidup kita, semoga semua mahluk hidup berbahagia, Om Shanti Shanti Shanti Om. 

Senin, 17 Maret 2014

Kasih Mulia Seorang Pemimpin ( Cerita ke-2 )





Om Siwa Buddhaya Namah,

Sahabatku yang terkasih, pada masa mudanya sebelum mencapai Ke-Buddhaan, Sang Buddha Gautama adalah seorang pangeran di Kerajaan Kapilawastu, beliau bernama Pangeran Sidharta. Pangeran Sidhartha adalah seorang Pangeran yang gagah rupawan, cakap dalam berbagai ilmu pengetahuan termasuk dalam ilmu beladiri seperti ketangkasan berkuda, menggunakan pedang, tombak, panah serta berbagai senjata lainnya. Namun walaupun demikian beliau memiliki rasa kasih sayang yang amat tinggi. Beliau menyayangi semua orang, termasuk orang tua, orang sakit dan bahkan beliau juga menyayangi binatang serta semua mahluk hidup.
Pangeran Dewadatha  adalah salah seorang sepupu Beliau yang memiliki sifat yang amat berbeda. Pangeran Dewadatha memiliki tabiat yang buruk yaitu selalu iri, dengki serta kejam. Pada suatu hari Pangeran Dewadatha pergi berburu bersama teman-temannya. Dengan menggunakan panah, Pangeran Dewadatha berhasil memanah seekor burung, namun sayang burung tersebut berhasil terbang menyelamatkan diri walaupun dalam keadaan terluka. Melihat hal ini, Pangeran Dewadatha menjadi penasaran dan mengejar burung tersebut bersama teman-temannya.
Pada hari itu juga, kebetulan Pangeran Sidharta sedang berjalan-jalan di Taman dan  burung itu jatuh terkapar ditanah tepat didepan Sang Pangeran dalam keadaan terluka dan kesakitan karena terkena panah. Menyaksikan hal ini, tumbuh rasa kasih sayang Beliau dan langsung memungut burung tersebut hendak menolongnya. Pada saat itu pula datang Pangeran Dewadatha bersama teman-temannya, hendak memungut burung tersebut dan mengatakan bahwa burung tersebut adalah miliknya, karena dia yang memanahnya. Kemudian terjadilah perselisihan diantara kedua pangeran tersebut untuk mempertahankan hak milik terhadap burung tersebut. Karena tidak ada yang mengalah maka kedua pangeran tersebut bersepakat untuk membawa permasalahan ini ke persidangan.
Didalam persidangan Para Brahmana Kerajaan, terjadi perdebatan yang sangat a lot, ada yang mengatakan bahwa burung tersebut adalah milik Pangeran Dewadatha karena dia yang memanahnya, namun ada pula yang mengatakan bahwa burung tersebut adalah milik Pangeran Sidharta. Namun salah seorang Brahmana muda yang bernama Kondanna dengan tegas mengatakan bahwa,” Kehidupan adalah milik dari orang yang menyelamatkannya. Karena burung tersebut masih hidup dan diselamatkan oleh Pangeran Sidharta maka burung tersebut adalah milik Pangeran Sidharta”. Akhirnya para Brahmana sepakat dan memutuskan bahwa burung tersebut adalah millik Pangeran Sidharta.
Sejak saat itu Pangeran Sidharta merawat burung tersebut dengan penuh kasih sayang. Perlahan-lahan luka pada sayap burung tersebut menjadi sembuh dan keadaanya menjadi pulih kembali. Kemudian oleh Sang Pangeran, burung tersebut dilatih terbang sampai dia dapat terbang dengan baik dan setelah itu Sang Pangeran melepaskannya ke udara hingga dia dapat menikmati kebebasan, terbang mengitari langit biru.
Demikian sekilas kisah dari Pangeran Sidharta, semoga kasih dapat tumbuh di hati kita, semoga semua mahluk hidup berbahagia, Om Shanti Shanti Shanti Om.

Rabu, 12 Maret 2014

Keikhlasan Adalah Yang Utama





Om Siwa Buddhaya Namah,


Sahabatku yang terkasih, dikisahkan dua orang bersaudara yang sangat suka mempelajari tentang kebenaran yaitu Gagakaking yang lebih tua dan adiknya bernama Bubuksah. Setelah merasa cukup menuntut ilmu pada seorang Guru, kedua bersaudara ini memutuskan untuk melakukan pertapaan yaitu meditasi pada sebuah gunung di tengah hutan, jauh dari keramaian penduduk. Mereka berdua, masing-masing memilih tempat serta cara bertapa ataupun tehnik meditasi yang berbeda.

Gagakaking melakukan pertapaan yang ketat dengan cara hanya memakan tumbuh-tumbuhan dan pantang memakan makanan yang berasal dari mahluk hidup, sehingga dia nampak kurus, namun tetap tekun didalam bermeditasi memuja Matahari. Sedangkan adiknya melakukan pertapaan dengan cara yang berbeda yaitu dia memakan makanan yang bernyawa termasuk binatang-binatang yang paling menjijikkan sekalipun. Tidak terkecuali, binatang apapun yang masuk didalam perangkapnya pasti disembelihnya, sehingga dia nampak lebih gemuk dari kakaknya dan dia tekun juga memuja Bulan.

Melihat hal ini, Gagakaking menjadi gelisah dan diyakini apa yang dilakukan oleh Bubuksah ini telah melanggar cara orang bertapa. Berkali-kali Gagakaking menasehatinya namun tidak berhasil. Bubuksah yakin bahwa apa yang dilakukannya itu adalah tapa juga. Bubuksah memahami bahwa jiwa itu adalah tunggal dan bersama tapanya itu berharap jiwa itu segera menyatu kembali ke asalnya. Bubuksah yakin benar bahwa banyak cara yang dapat dilakukan untuk mencapai alam sorga.

Pada puncak tapanya, membuat keadaan di sorga terusik. Dewa Indra lalu melaporkan kepada Dewa Siwa bahwa ada dua orang pertapa yang sama-sama sakti ingin berebut sorga. Dewa Siwa lalu mengutus Kala Wijaya untuk menyamar sebagai harimau putih untuk mengujinya. Dalam mengujinya itu, harimau putih mendatangi Gagakaking dengan mengatakan ingin memakannya karena telah berjanji untuk memangsa seorang pertapa. Gagakaking tidak mau dimangsa oleh harimau bahkan menyuruh harimau putih mendatangi adiknya.

Selanjutnya, harimau putih mendatangi Bubuksah. Bubuksah lalu mohon waktu sebentar untuk mengambil binatang yang masuk perangkapnya, setelah itu Bubuksah menyerahkan diri kepada harimau putih untuk segera memangsa dirinya. Lalu harimau putih menjelaskan bahwa dirinya adalah utusan Dewa Siwa untuk mengujinya. Kemudian harimau putih mengajak dirinya untuk menghadap Dewa Siwa. Oleh karena Gagakaking dan Bubuksah sebelumnya sudah berjanji seia sekata, baik suka maupun duka, maka Gagakakingpun diikutkan ke surga. Bubuksah duduk di punggung harimau sedangkan Gagakaking bergelantungan memegang ekor harimau.

Sesampainya di surga, mereka disambut oleh para dewa, lalu mereka diberi tempat sesuai dengan tapanya. Oleh karena Bubuksah memiliki keikhlasan yang utama maka dia berhak mendapatkan sorga yang terbaik dan tertinggi ( sorga ketujuh ). Sedangkan Gagakaking diberikan sorga tingkat kelima. Dewa Siwa mengingatkan bahwa segala sesuatu yang dilakukan pasti akan mendapatkan pahala sesuai dengan perbuatannya karena semua perbuatan itu telah tercatat.

Demikianlah sahabatku, sekilas kisah dua orang bersaudara ini, semoga keberanian dan keikhlasan untuk menghadapi segala persoalan hidup dapat tumbuh dihati kita, semoga keberuntungan datang dari segala penjuru, semoga semua mahluk hidup berbahagia, Om Shanti Shanti Shanti Om.